Ki Prasetyo Anom Carito Penerus Dakwah Wali Songo Melalui Seni Wayang Kulit

MEMOPOS.com,Banyuwangi - Wayang sebagai media komunikasi yang sudah sejak dulu kala jaman para Wali Songo masih relevan digunakan sebagai dakwah untuk menyebarkan agama Islam di pulau jawa Indonesia.
Hal ini disampaikan Ki Prasetyo Anom Carito Pembina dan Guru Seni Pedalangan Madukoro, wayang kulit merupakan budaya peninggalan leluhur wali songo dan juga seni wayang salah satu media komunikasi yang digunakan dalam upaya menghadapi pandemi Covid-19 saat ini. Pagelaran wayang kulit cukup banyak digunakan untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan seputar upaya menghadapi pandemi seperti sekarang ini.
Seperti halnya wayang berperan mengomunikasikan budaya (kebiasaan) baru, mencuci tangan, memakai masker, dan lain sebagainya. Masalah pandemi itu begini, (jadi) kita harus begini,” tutur Ki Prasetyo.
Tidak hanya untuk mengomunikasikan pola kebiasaan baru, wayang kulit pun dijadikan media komunikasi atas kritik, keresahan, serta harapan masyarakat kepada pemerintah. Hal ini seperti lakon wayang tentang keresahan masyarakat terhadap kebijakan social distancing yang mengancam perekonomian.
Kenapa masih relevan digunakan? Ki Prasetyo menjelaskan bahwa sebuah karya lakon wayang dilatarbelakangi oleh proses kreatif dalam dialog antara dalang, penonton atau penanggap, dan lingkungan (universe) sekitar. Dalam proses kreatif tersebut, dalang kemudian menerima gagasan-gagasan dari berbagai pihak. Gagasan tersebut kemudian dikemas dalam kesenian sehingga dapat diterima dan menjadi menarik untuk didengar dan disaksikan.
Ki Prasetyo menceritakan bahwa ketika masa orde baru dahulu, wayang menjadi media komunikasi atas pesan-pesan program Repelita (Rencana Pembangunan Lima tahun) yang digagas oleh pemerintahan orde baru kala itu. Kemudian ketika terjadi krisis moneter di Indonesia sekitar tahun 1997, wayang pun menjadi media komunikasi atas pesan-pesan keresahan masyarakat.
“Setelah (1997) itu, semua lakon wayang berkonsep gugat. Dengan subtansi isinya adalah keinginan masyarakat atas keinginan reformasi saat itu,” ungkap dalang kondang alumni angkatan tahun 1988 SMP 17 Agustus 1945 Cluring Banyuwangi tersebut.
Dengan masih terselenggaranya pergelaran wayang kulit sampai saat ini bukan berarti bahwa pagelaran wayang kulit tidak memiliki ancaman. Sebuah karya lakon wayang mungkin dapat terus mengikuti perubahan kondisi di lingkungan masyarakat. Namun demikian pagelaran wayang kulit saat ini tengah menghadapi permasalahan kelangkaan generasi.
Untuk itu Ki Prasetyo bersama Paguyupan Madukoro terus menerus mencari bibit generasi baru yang sekarang tidak banyak mengenal “bahasa” wayang. Apalagi media komunikasi yang digunakan sekarang ini juga bukan media komunikasi yang selama ini digunakan untuk pagelaran wayang yakni media sosial. Untuk itu, Pras mengatakan bahwa dalam rangka adaptasi ke dunia baru, pagelaran wayang juga harus masuk ke dunia virtual.
Ia menilai banyak dalang yang tidak bisa menggunakan teknologi digital. Oleh karena itu, upaya pelestarian pertama sekali memerlukan literasi digital kepada para pekerja seni. Pras berharap semua pihak dapat mendukung dan ikut bekerja sama dalam upaya melestarikan salah satu media komunikasi penting dalam masyarakat Indonesia tersebut.
“Kita, seniman wayang, harus menyentuh dunia-dunia virtual karena disitulah banyak generasi muda. Hampir semua instansi pemerintah sudah menggunakan media sosial. Media sosial menjadi kunci penting bagi kita bagaimana kita bisa membuat masyarakat lebih mengenal wayang,” pungkas Ki Prasetyo.(Im)