Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Yogyakarta
Dibuat Oleh: Melly Nia Dwi Aprilia
Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
MEMOPOS.com,Yogyakarta - Kemiskinan dapat digambarkan sebagai kondisi yang serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yaitu meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan pendidikan dan kebutuhan akan kesehatan. Penduduk miskin yang tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhannya dikarenakan mereka tidak memiliki aset sebagai sumber pendapatan, juga karena struktur sosial ekonomi tidak membuka peluang orang miskin keluar dari lingkungan kemiskinan yang tidak berujung pangkal. (Maskun dalam Suparjan 2003: 75).Salah satu contoh masalah sosial yang disebabkan oleh faktor ekonomi adalah kemiskinan.
Kemiskinan merupakan masalah sosial serius yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Meskipun telah berjuang puluhan tahun untuk membebaskan diri dari kemiskinan, kenyataan memperlihatkan bahwa sampai saat ini Indonesia belum bisa melepaskan diri dari masalah kemiskinan. Sekelompok anggota masyarakat dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan kelompok anggota masyarakat tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti pangan, pakaian, dan tempat tinggal.
Kemiskinan telah lama menjadi masalah klasik yang tidak kunjung selesai. Berbagai kebijakan pemerintah telah dikeluarkan untuk mengatasi masalah kemiskinan. Program pengentasan kemiskinan tetaplah menjadi salah satu program prioritas dan strategi lintas bidang di Indonesia. Kebijakan penanggulangan kemiskinan dibagi menjadi tiga kluster, yaitu: (1)Kelompok Program Bantuan Sosial Terpadu Berbasis Keluarga. (2) Kelompok Program Berbasis Pemberdayaan dan dan Jamkesmas, dan (3) Kelompok Program Berbasis Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro dan Kecil.
Kebijakan penanggulangan kemiskinan diterapkan di seluruh provinsi di Indonesia. DIY merupakan salah satu provinsi yang mengimplementasikan kebijakan tersebut. Jumlah penduduk miskin Daerah Istimewa Yogyakarta pada September 2016 mencapai 488,83 ribu jiwa. Bila dibandingkan dengan keadaan September 2015 (485,56 ribu orang), jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,27 ribu orang. Persentase penduduk miskin Daerah Istimewa Yogyakarta pada September 2016 sebesar 13,10 persen. Apabila dibandingkan dengan kondisi Maret 2016 (13,34 persen) terjadi penurunan sebesar 0,24 persen poin (BPS, 2017: 1).
Penduduk DIY dikatakan miskin apabila penghasilan per bulan berada di bawah angka garis kemiskinan. Garis kemiskinan (GK) Daerah Istimewa Yogyakarta pada September 2016 sebesar Rp 360.169,- per kapita per bulan. Sementara itu GK pada Maret 2016 sebesar Rp 354.084,- per kapita per bulan. Selamasatu semester angka GK meningkat 1,72 persen. Bila GK September 2016 dibandingkan dengan kondisiSeptember 2015 (Rp 347.721,- per kapita 3 per bulan) maka akan terlihat kenaikannya mencapai 3,58persen. Selama setahun (September 2015 -September 2016) Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin juga semakin mengecil.
Penduduk miskin di DIY tersebar di lima Kabupaten/Kota. Angka kemiskinan terbanyak berturut-turut yaitu Kulonprogo, Gunungkidul, Bantul, Sleman dan Kota Yogyakarta. Kemiskinan di Kota Yogyakarta paling kecil yaitu sebanyak 36.600 orang atau 8,67% (Kota Yogyakarta dalam Angka, 2016). Sebenarnya, telah banyak program penanggulangan kemiskinan yang telah diimplementasikan di Kota Yogyakarta. Ada tiga program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilaksanakan yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Menuju Sejahtera (KMS), dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP).
Kemiskinan merupakan permasalahan perkotaan akibat urbanisasi dan semakin diperparah oleh fragmentasi perkotaan. Kemiskinan ini terkait dengan peningkatan kebutuhan-kebutuhan yang muncul sebagai konsekuensi dari proses urbanisasi yang terjadi, seperti kebutuhan penciptaan lapangan pekerjaan, kebutuhan pemenuhan fasilitas-fasilitas perkotaan baik yang berupa fasilitas perumahan, fasilitas ekonomi, maupun fasilitas-fasilitas penunjangnya. Namun, penelitian Fikri, Sholeh dan Baroroh (2016: 5) mengungkapkan bahwa penduduk miskin perkotaan di Kota Yogyakarta mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kemiskinan di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Faktor urbanisasi sebagai faktor utama yang mempengaruhi tidak terlalu besar dikarenakan sebagian besar penduduk miskin merupakan warga asli dan pendatang yang telah lama menjadi penduduk di tempat tersebut. Kehidupan kota yang tidak terlalu hingar bingar juga berpengaruh pada sistem sosialnya.