Terungkap Sudah, Konflik Masjid Al Hidayah Dipicu Soal Takmir

MEMOPOS.com,Banyuwangi - Ternyata kasus yang terjadi di Masjid Al Hidayah Desa Tampo, Kecamatan Cluring, pada 25 Februari 2022 lalu, ternyata dipicu masalah internal.
Masalah internal itu melibatkan sejumlah pengurus takmir Masjid Al Hidayah Desa Tampo, Kecamatan Cluring, Banyuwangi, Jawa Timur.
Ini semua terkuak saat pertemuan tabayun antara warga yang menolak dan jamaah Muhammadiyah di Masjid Al Hidayah.
Menurut Rahmad, salah satu warga yang menolak pemasangan papan nama simbol Muhammadiyah mengungkap jika semua yang terjadi adanya sebab akibat. Ia pun berkisah tentang ihwal sejarah Masjid Al Hidayah.
"Masjid ini milik masyarakat dengan bukti surat yang dilaminating. Makanya kami kemudian berani merenovasi. Granit yang sekarang terpasang ketika itu sudah dibeli, padahal dana belum terkumpul dari masyakarat," ungkap Rahmad dalam tabayun.
Granit itu untuk memancing warga agar tergerak untuk mengeluarkan sedekah bagi renovasi Masjid Al Hidayah.
Akhirnya terkumpul dana Rp 8,9 juta dari dua RT yang ada di sekitar Masjid Al Hidayah, Dusun Krajan, Desa Tampo. Dalam perjalanannya kemudian banyak yang menyumbang.
"Paping 400 meter, 120 meter aula plus atap dan pagar," terang Rahmad.
Yang menyakiti hatinya, lanjut Rahmad, dalam kurun 8,5 bulan masa renovasi Masjid Al Hidayah beberapa orang dari pengurus masjid kurang respon.
"Selama pembangunan yang aktif lima orang. Beberapa tiba - tiba mengundurkan diri dan membentuk takmir baru," beber Rahmad.
Soal pelepasan papan nama, Rahmad siap dipersalahkan. Papan nama itu dipotong karena sudah ada kesepakatan sampai tingkat Kecamatan Cluring.
"Tapi soal renovasi atas seijin Allah dan tidak punya hutang. Tiba - tiba pengurus inti tidak ada yang terlibat. Tanpa alasan kami ditinggal," ungkap Rahmad yang saat itu menjabat Seksi Pemeliharaan Fisik dan Pembangunan Masjid Al Hidayah 2020-2021.
Komarudin pun menimpali. Cicit dari Mbah Yasin, ayah menantu dari Kiai Bakri merasa kasihan dengan mantan pengurus yang terabaikan sejak tuntas pembangunan masjid.
"Sempat saya rayu untuk menggelar pengajian di rumah warga selama empat bulan. Kemudian kami ajak untuk memakmurkan masjid. Warga seolah tak nyaman ibadah di masjid. Padahal warga yang bangun sejak turun temurun," papar Komarudin.
Saat itu Komarudin menyerukan agar pengurus lama yang tidak jadi pengurus lagi agar dirangkul sesuai keahlian.
"Yang bisa jadi khotib ayo dirangkul, yang ahli bangunan ayo dirangkul sesuai keahlian," kisahnya.
Heri Sasmito, warga lain yang menolak menegaskan bila masalah ini terjadi akibat internal takmir masjid yang pecah.
Ketika pembentukan takmir baru warga sekitar masjid tidak diundang," ucapnya.
Tabayun yang banyak mendengarkan keluh kesah warga yang menolak pemasangan papan nama itu akhirnya berakhir dengan damai dan saling berangkulan.(Im)